cerita melampaui garis khayal

                                                            Melampaui Garis Khayal

Sumpah serapah apa yang kau tebar
Sampai lisan ku keluh untuk keluar
Akal tak mampu lagi untuk berputar
Mengingat api yang berkobar-kobar

Aku seorang pendosa
Pendosa yang menginginkan surga
Ketika kaki mulai lumpuh menentukan arah
Tetap ada yang menuntunnya, Allah Ta’ala.

Aku duduk diantara dua lampu taman yang bersinar merah kegelapan, menikmati aroma rumput basah yang baru saja terguyur hujan. Rona malam yang dihiasi bulan dan bintang mengingatkanku dengan hal yang kadang tak bisa ku cerna dengan akal. Andai saja kala itu nafas dan ragaku habis detik itu juga, jeritan siksa terus ku teriakkan.
Masa muda adalah fase dimana setiap orang menentukan jati dirinya, dimasa itu pula hingar-bingar dunia mulai mengintai. Pertemanan, dunia malam, kriminal, percintaan, semua hal sudah ku rasakan. Hanya satu hal yang belum pernah ku nikmati, sebut saja itu kematian.
***
Aku seorang mahasiswa yang datang dari perantauan, dengan iming-iming belajar di kota besar mampu membesarkan status sosial seseorang yang menurutku tidak sama sekali. Jangankan dapat indeks prestasi tinggi, duduk di kelas mengikuti apa yang dikatakan dosen saja sudah menjadi pencapaian terbesarku, titip absen adalah hal yang selalu ku lakukan.
Orangtuaku sering menghubungi untuk menanyakan perkembangan kuliah, disaat itu juga ada saja alasanku meminta uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan, baiaya kuliah, biaya seminar, baiaya praktek, biaya kerja lapangan, dan masih banyak lagi. Padahal orangtuaku bukan seorang Ketua Dewan yang sanggup menabrakan mobil seharga Miliaran Rupiah ke tiang listrik dengan luka yang sebesar bakpau. Orangtuaku hanya seorang pedagang sayur di Pasar.
Uang yang dikirim dari mereka kerap kali habis untuk membeli rokok, makan satu kali sehari sudah cukup bagiku asal rokok selalu ada disaku celana. Aku suka main gitar, itu menjadi alat untuk melirik wanita-wanita cantik sekitaran kampus. Apalagi anak orang kaya yang dompetnya tebal dengan wajah pahlawan Soekarno-Hatta.
Wanita matre sudah ketinggalan zaman. Sekarang cowok yang harus memilih-milih mengutarakan cinta ke wanita-wanita yang ingin diberi perhatian dan pastinya yang punya uang banyak utuk memenuhi kebutuhan perut anak perantau. Untunglah, wajah rupawanku ini yang tak tega jika harus ditolak mentah-mentah.
Sering gonta-ganti pasangan sudah tak lagi ku lakukan sejak Aku mengenal Laura, wanita berkacamata dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Awal berkenalan Aku melakukan hal yang sama ke Laura dengan wanita lain. Selalu ada saja alasan agar uangku tidak keluar saat kencan.
Namun seiring berjalannya waktu Aku semakin sayang dengan Laura, niat untuk berpaling darinya saja Aku tak sanggup. Kata sahabat terbaikku, Iqbal, yang sering meminjamkan uang untukku, bahwa sepertinya Laura adalah cinta yang sebenarnya untukku.
***
Awal bulan adalah waktu yang dinanti-nantikan para mahasiswa, uang yang baru saja ditransfer langsung Aku belikan makanan di tempat yang sering Iqbal dan Aku makan. Harga yang sepadan dengan kelezatan pasti tidak  mengecewakan konsumennya, namun kali ini aku membeli bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk Laura yang sedang sakit di rumah.
Aku memesan satu porsi makanan kesukaannya untuk dibawa pulang, saat Aku sedang menunggu untuk membayar makanan, terlihat Iqbal dari kejauhan bersama seorang teman wanitanya. Saat Aku mulai mendekat, aku tak asing dengan wanita yang duduk berhadapan dengan Iqbal, jelas saja, Laura membohongiku.
“Iqbal!” Aku teriak memanggil namanya, bukannya menoleh tapi malah menghindar dari hadapan. Laura berdiri menghadapku seolah bingung kenapa Aku berada disini.
Tanganku langsung meremas baju Iqbal sekencang mungkin, menjauhi dari keramaian restoran, tanganku melesat menghantam wajah Iqbal. Iqbal segera bangkit setelah ku jatuhkan, namun Laura langsung memisahkan saat Iqbal akan membalas pukulanku.
“Tega kamu Laura, kau bilang sedang sakit di rumah, tapi apa?” Mataku terus tertuju pada Laura. “Apa karena Iqbal laki-laki kaya yang bisa beli segalanya buat kamu? Iya?” Mataku mulai berkaca-kaca, kali pertama Aku merasakan sakit yang luar biasa karena cinta.
“IYA! Itu salah satunya.” Aku kaget bukan kepalang mendengar jawaban Laura. Aku menelan air liurku yang sudah diujung tenggorokan.
“Tapi bukan itu alasan utamaku.” Aku hanya diam. “Aku sama sekali tak pernah mencintaimu, Lif.” Seperti sembilan mata pisau yang tepat menusuk hati saat Laura mengatakan itu.
“Lalu?” Jawabku pelan seraya menahan air mata yang akan tumpah.
“Kau tahu sahabatku Anita, wanita yang dulu pernah kau pacari lalu kau tinggalkan begitu saja karena keserakahanmu. Dia seperti orang gila yang selalu menangis memanggil namamu, Alif, Alif. Itu masih satu wanita, belum yang lainnya. Kau kira wanita seperti baju yang kapan saja bisa Kau pakai, lalu Kau buang saat Kau mulai bosan? Enggak, Lif, Enggak. Dan sekarang kau tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu? Aku bukan tipe wanita yang mudah jatuh cinta dengan seorang pria seperti kamu, Lif.” Aku hanya bisa mengangguk mendengar apa yang dikatakan Laura.
***
Aku mengendarai motor tanpa kendali yang stabil malam itu, jalan yang ku lalui bukan jalan menuju pulang, kecepatan maksimum karena emosi yang tak mampu ku reda membuat motor ku berhenti tiba-tiba diatas rel kereta, Aku tak mampu melihat palang merah lagi, aku tak mampu mendengar suara sirine lagi. Lampu yang dipancarkan dari sebuah kereta serta suara klekson yang terus dibunyikan berkali-kali membuatku berpikir untuk mengakihiri hidupku detik itu juga.
Tapi...
Tubuhku seperti dihempas angin yang sangat kencang sebelum kereta itu menyeret sepeda motorku yang hancur berserekan. Aku jatuh tak jauh dari badan rel, badanku serasa kaku melihat motor yang terseret sangat jauh, aku menangis di pundak seseorang yang membawaku untuk menjauhi lokasi.
Aku merasa orang yang teramat bodoh, rela mati begitu saja hanya karena cinta. Aku yakin, zat yang menolongku saat itu adalah Allah ta’ala. Tak mungkin ada seseorang yang mampu menyelamatkan nyawaku dalam waktu sepersekian detik.
Aku belajar dari apa yang sudah semuanya ku lakukan, terutama Laura yang menjadi perantara atas apa kesalahanku. Sekarang aku tidak memikirkan siapa jodohku kelak, yang Aku pikirkan bagaimana caranya untuk mencintai penciptaNya terlebih dulu, lalu mencintai ciptaanNya yang amat terindah itu. Bukankah Allah telah berjanji untuk memberikan wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan memberikan wanita buruk untuk laki-laki yang buruk?

***
Wahai pencuri tulung rusukku, sejauh apapun kakimu melangkah, ingatlah namamu dan nama ku sudah terparkir indah di Lauh Mahfudz sang pencipta.

Komentar